Tahu dengan film antologi? Ya,
dalam satu film terdapat lebih dari satu cerita atau kumpulan film pendek. Tapi 3 sampai 10 cerita sudah biasa, apa jadinya jika dalam satu film terdapat 26
cerita berbeda. Itulah yang coba dihadirkan di The ABCs of Death. Seperti yang tertulis di taglinenya “26 Directors, 26 Ways to Die”. The ABCs of Death berisi 26 film horror
pendek yang disutradarai 26 sutradara mancanegara yang masing-masing mewakili
tiap huruf dalam alphabet.
A is for Apocalyse,
disutradarai Nacho Vigalondo, mengisahkan tentang seorang pria yang sedang
rebahan ditempat tidur tiba-tiba datang wanita yang langsung menusuknya.
Pembukaan yang pas untuk pemanasan ke film selanjutnya, adegan gore yang cukup
sadis, dan ada twistnya juga. B is for Bigfoot, disutradarai
Adrian Garcia Bogliano, mengisahkan tentang suami-istri yang sedang merayu dan
menakuti anaknya untuk segera tidur, karena jika tidak, akan ada sosok
misterius yang akan datang. Sayang sekali tidak semenyeramkan judulnya. C is
for Cycle, disutradarai Ernesto Diaz Espinoza, mengisahkan tentang
seorang pria yang terbangun dari tidurnya karena mendengar suara aneh dari
luar, dia pun menyelidikinya, dan ternyata pria tersebut malah mengalami
peristiwa aneh. Saya suka sekali dengan ceritanya yang cerdas. D is
for Dogfight, disutradarai Marcel Sarmiento, mengisahkan tentang
pertarungan antara seorang manusia dan seekor anjing ganas. So far, film ini
yang paling memuaskan, dibalut dengan efek slow motion indah, tingkat
ketegangannya juga pas.
E is for Exterminate,
disutradarai Angela Bettis, mengisahkan tentang seorang pria yang terganggu dengan kehadiran laba-laba yang hinggap di dinding rumahnya. Menjadikan
laba-laba sebagai media kematian bisa dibilang cukup bagus, namun sayang
dieksekusi dengan seadanya. F is for Fart, disutradarai Noboru
Iguchi, mengisahkan tentang perasaan cinta seorang wanita kepada guru
wanitanya. Jujur film ini adalah yang paling konyol nan absurd, entah berapa
kali saya dibuat tertawa oleh film ini. G is for Gravity, disutradarai
Andrew Traucki, mengisahkan tentang seseorang yang sedang berselancar lalu mati
tenggelam. Dengan konsep kamera orang pertama namun sama sekali tidak menarik. H is
for Hydro-Electric Diffusion, disutradari Thomas Malling, mengisahkan
tentang anjing jantan yang terpesona melihat kucing betina. Film yang lucu
sekaligus cukup sadis. I is for Ingrown, disutradarai Jorge
Michel Grau, mengisahkan wanita yang diikat di bak mandi lalu disuntik seorang
pria yang mengakibatkan efek kepadanya. Agak membingungkan ceritanya, mungkin
akan lebih bagus jika dibuat versi panjangnya.
J is for Jidai-geki, disutradarai
Yudai Yamaguchi, mengisahkan seorang pria yang hendak dieksekusi dengan
Samurai. Dari semua sineas Jepang yang ikut, saya rasa film ini yang paling
menarik, unsur komedi dari ekspresi konyol yang mudah untuk ditertawakan. K is
for Klutz, disutradarai Anders Morgenthaler, mengisahkan tentang wanita
yang mengalami masalah dengan kotoran. Animasi yang menghibur dan endingnya
yang cukup…. L is for Libido, disutradarai Timo Tjahjanto, mengisahkan
tentang sebuah permainan yang mana pesertanya diharuskan untuk masturbasi. Ini
dia yang paling saya tunggu, bangga rasanya melihat sineas lokal dengan cerita
cerdas dan gila, salah satu yang terbaik di ABCs. M is for Miscarriage, disutradarai Ti West, intinya ceritanya
tentang wanita yang mempunyai masalah dengan keintimannya. Kecewa berat sama
West, mempunyai kapasitas nama paling terkenal, eh filmnya cuma segitu doang,
tidak jelas banget ceritanya apa. N is for Nuptials, disutradarai
Banjong Pisanthanakun, mengisahkan tentang pasangan yang terlihat baik-baik
saja, namun seketika berubah saat seekor burung beo bertingkah. Lagi-lagi saya
dibuat tertawa oleh Banjong setelah dua filmpen-nya di dwilogi Phobia.
Ceritanya sederhana, sentuhan komedinya ngena.
O is for Orgasm,
disutradarai Bruno Forzani dan Helene Cattet, mengisahkan tentang pria dan
wanita yang sedang bercinta (?). Punya visualisasi yang indah tapi tidak
terlalu memikat hati saya. P is for Pressure, disutradarai
Simon Rumley, mengisahkan wanita yang mencari uang dengan melacur. Film ini tidak
ada yang special, biasa saja. Q is for Quack, disutradarai Adam
Wingard, mengisahkan dua pria yang ingin
membuat film pendek. Sama seperti film sebelumnya, ya berakhir biasa saja. R is
for Removed, disutradarai Srdjan Spasojevic, mengisahkan seorang pria yang sedang dibedah. Setelah dikecewakan tiga film sebelumnya, tensi yang sempat menurun kembali
meningkat ketika film ini, adegan sadisnya yang diperlihatkan secara gamblang. S is
for Speed, disutradarai Jake West, mengisahkan wanita yang menyandra
wanita lain. Yah, lagi-lagi film yang berakhir biasa saja bagi saya. T is
for Toilet, disutradarai Lee Hardcastle, mengisahkan seorang anak yang
takut pergi ke toilet. Dikemas dengan gaya claymation, unsur komedi dan disturb
yang menyenangkan, film ini juga yang menjadi pemenang sayembara untuk huruf T.
U is for Unearthed,
disutradarai Ben Wheatley, mengisahkan vampir yang dikejar tiga orang pria. Mengambil
format first person camera sama
seperti di G, sayang sudut pandangnya diletakkan di vampirnya, jadi
kengeriannya sedikit berkurang. V is for Vagitus, disutradarai Kaare
Andrews, mengisahkan polisi wanita yang sedang bertugas mencari pemberontak. Tidak
terlalu menarik bagi saya, tapi punya cerita yang bagus dan efek yang oke, mungkin
akan lebih cocok dijadikan film panjang. W is for WTF, disutradarai Jon Schnepp,
mengisah tentang segerombolan pemuda tidak karuan. Editing yang acak-acakan, salah satu yang terburuk di ABCs. X is for XXL,
disutradarai Xavier Gens, mengisahkan seorang wanita yang dilecehkan orang
karena memiliki masalah dengan obesitasnya, dia pun melakukan segala cara untuk
mendapatkan tubuh langsing, sekalipun membahayakan nyawanya. Film tergila,
tersadis, banjir darah. Adegan gore yang mampu membuat ngilu mengernyitkan
dahi. Y is for Youngbuck, disutradarai Jason Eisener, mengisahkan
seorang pria pedofilia. Cocok dibuat versi panjangnya. Z is for Zetsumetsu,
disutradarai Yoshihiro Nishimura, mengisahkan tentang makanan yang terbuat dari
bahan yang...? Film sutradara Tokyo Gore
Police yang sarat ketelanjangan, keabsurdan, dan kesintingan.
Secara keseluruhan The ABCs of Death adalah memang film
dengan konsep yang bagus. Tapi sangat disayangkan ada beberapa film yang dibuat
seadanya asal jadi. Dan senang sekaligus bangga sekali rasanya melihat sineas
Indonesia, Timo Tjantanto ikut berpartisipasi, apalagi justru karya Timo jauh
lebih bagus dibanding film lainnya. Film favorit saya adalah D, L, N, T, dan X.
7.5/10
7.5/10
No comments:
Post a Comment