“I
don’t want to survive. I want to live.” – Solomon Northup
12 Years a Slave mengisahkan tentang
Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) seorang kaum kulit hitam yang memiliki
talenta dalam hal musik ini menyebut dirinya free man. Suatu hari dia diculik
lalu dijual beli sebagai budak. Lantas seorang pemilik perkebunan yang baik
bernama Ford (Benedict Cumberbacth) pun membelinya. Namun justru kepintarannya itu membawakannya
masalah kepada Tibeats (Paul Dano). Khawatir sesuatu terjadi pada Solomon, dia
pun dijual kembali. Kali ini dibeli oleh Edwin Epps (Michael Fassbender),
seorang yang kejam memperlakukan budaknya. Disana Solomon pun harus berjuang
memperjuangkan keadilannya.
Steve McQueen,
dialah dalang dibalik film ini. Setelah Shame
dua tahun lalu yang tidak diperhatikan Oscar padahal punya kualitas yang
bagus. Kali ini dengan membawa 12 Years a
Slave, dia sepertinya ingin membalasnya dan membuktikan kembali bahwa
filmnya memang layak diperhitungkan. Sekarang dia mengangkat cerita berdasarkan
dari kisah nyata yang tertulis dalam autobiografi karya Solomon Northup yang screenplay-nya ditulis oleh John Ridley.
Cerita tentang rasis dan perbudakan memang menjadi daya tarik sendiri, apalagi
untuk orang asli USA sana. Ini seperti membuka kembali luka lama yang perih.
Seperti halnya film tentang perbudakan kebanyakan, 12 Years a Slave juga menghadirkan perilaku kejam nan sadis ras
kulis putih kepada kaum kulit hitam. Bentuk-bentuk siksaan yang diperlihatkan
cukup eksplisit, mengeksploitasi fisik dengan brutal hingga menyisakan luka
yang mendalam secara psikologis.
Punya banyak
adegan penyiksaan yang diperlihat secara gamblang dan frontal; pencambukan,
gantung leher, dan (maaf) bugil. McQueen tanpa ragu memperlihatkan itu semua
secara jelas, semacam ingin mengatakan bahwa inilah gambaran polemik terjadi,
dirasakan dan dialami dulu. Sedari awal film ini mencoba untuk mengikat
penontonnya lewat fondasi ceritanya yang
kuat dan menarik itu. Dan ketika adegan demi adegan yang terasa memilukan itu
hadir, kita seakan turut merasakan kesakitannya dan ikut bersimpati kepada
mereka. Serta kita seakan ingin membebaskan kaum negro itu bebas dari
perbudakan. Mengangkat isu kemanusian dengan nada serius memang daya utama
tersendiri bagi film ini – tidak seperti Django Unchained-nya Quentin Tarantino yang nyeleneh itu. Aspek teknis di film ini
pun turut membantu fondasi ceritanya. Mulai dari sinematografi, makeup, kostum
hingga scoring-music gubahan Hans
Zimmer yang pas di tempatkan dibagian-bagian yang menyayat hati itu.
Bicara divisi akting,
Chiwetel Ejiofor sebagai tokoh utama bermain begitu meyakinkan melalui
ekspresi, dilog dan gesturnya yang memperlihatkan kepedihan dengan baik. Lupita
Nyong’o yang disini sebagai penampilan perdananya juga bermain bagus. Michael
Fassbender yang perannya disini malah kayak psycho, tampil luar biasa dengan
menyebalkan. Hingga peran-peran minor yang diperankan oleh Benedict
Cumberbatch, Brad Pitt, Paul Dano, Alfre Wooddard, Paul Giamatti dan Sarah
Paulson, walau dalam durasi yang sempit mereka semua punya andil besar terhadap
jalannya cerita.
Secara
keseluruhan 12 Years a Slave adalah
sebuah drama tentang slavery yang sangat bagus. Bagaimana kisah perbudakan itu
diperlihatkan dengan apik oleh Steve McQueen lewat penyutradaraannya yang
total. Apalagi dihuni oleh tim produksi yang luar biasa dan ensemble cast
segudangnya yang bertalenta tinggi. Mengangkat kisah nyata 12 tahun Solomon
Northup yang dipadatkan dalam 134 menit durasinya yang begitu memikat. Well, kita lihat saja dengan
dijadikannya 12 Years a Slave sebagai
frontrunner di ajang Oscar nanti, apakah akan membawa pulang piala?
8.5/10
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Delete